Monday, February 18, 2008

Memoir of Bali - part two


Angin bisnis mulai berhembus kembali, sedikit demi sedikit omzet perusahaan tempat saya bekerja mulai naik walau tidak sebaik sebelum bom Bali terjadi. Saya harus sering melakukan perjalanan dari Bali Barat ke Bali Timur. It was so nice. Saya jadi tahu tempat-tempat yang eksotis dan bahkan tidak banyak orang yang tahu tentang keindahan alamnya. Kebetulan saya masih melanjutkan kuliah di Jakarta sehingga harus sering membagi waktu antara Jakarta dan Bali. Untuk menghemat uang transport, maka saya harus sering naik kereta api atau membawa mobil sendiri. Pada awalnya saya sering naik bus damri dari Denpasar ke Gilimanuk kemudian dilanjutkan dengan kereta bisnis dari Banyuwangi ke Surabaya. Kemudian pindah kereta Argo dari Surabaya ke Jakarta, karena tiket pesawat waktu itu masih mahal.

Hingga suatu saat, saya berniat pulang ke Jakarta dengan membawa mobil sendiri. Berbekal peta dan pengetahuan tentang medan yang akan ditempuh, saya kemudian pergi ke Jakarta dengan naik mobil sendiri. Perjalanan memakan waktu hampir 2 hari, karena saya harus stop over di Surabaya untuk beristirahat sebentar dan kemudian lanjut ke Magelang untuk beristirahat dirumah saudara. Esok paginya saya baru berangkat ke Jakarta, perjalanan di Pantura adalah yang paling membosankan dan melelahkan. Sesampainya di Jakarta, saya dimarahi oleh Mama karena saya bilang naik kereta api tidak dengan bawa mobil sendiri. Akhirnya sewaktu kembali ke Bali, saya selalu ditemani oleh Mama dan perjalanan terakhir dilakukan bersama dengan Geng Labil (the fantastic five). Dan perjalanan tersebut kami namakan To Bali With Love. Karena waktu itu hampir diakhir tahun 2004 dan kami dilanda badai besar di Probolinggo. Mobil saya terendam banjir dan mogok.

Selama di Bali, saya banyak menghabiskan waktu berwisata ke pantai dibagian selatan pulau Bali. Pantai kesukaan saya adalah pantai Padang-Padang, karena tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaan pantai ini. Hanya turis bule yang suka surfing mengetahui keindahan pantai ini. Pantainya putih bersih dengan karang-karang yang sangat indah. Pada saat masuk kepantai ini, kita harus memasuki sebuah goa kecil yang cukup curam dengan tangga menurun. Sesampainya pantai tersebut, saya sering berenang atau membaca buku hingga hampir sunset. Untuk mencapai pantai ini, dibutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Kuta ke arah Pura Uluwatu.

Menikmati tempat wisata seperti pegunungan dan pantai bisa dikatakan free of charge alias gratis. Hanya dibutuhkan biaya uang parkir sebesar Rp 1,000 – 2,000/mobil. It’s so cheap. Deburan ombak, sunset, pasir putih, hawa sejuk serta pura yang indah adalah hiburan saya waktu itu. Mata seakan tidak pernah bosan menikmati semua itu. Saya bisa dikatakan jarang sakit selama tinggal dipulau ini, mungkin karena bebas polusi dan macet. Kemacetan hanya terjadi apabila ada Ngaben, upacara adat dan pesta layang-layang. Namun pas kembali ke Jakarta, saya selalu flu. Aneh memang!!

Tempat saya pun terkadang menjadi base camp bagi teman-teman saya yang berkunjung ke Bali, mereka sering menginap dikamar saya. Dan bahkan saya tidak sungkan menemani mereka jalan-jalan dengan mobil. Senang rasanya setiap menerima kunjungan teman-teman dari Jakarta. It must be full of laugh and fun. Waktu berjalan cukup cepat, saya sudah mempunyai sahabat-sahabat baru. Edo, Tania dan Yanti adalah salahsatu sahabat saya terbaik selama saya berada di Bali. Mereka dengan setia menemani saya diakhir pekan dan disaat saya sedang suntuk. Kulit saya semakin bertambah gelap karena sering terkena panas matahari akibat terlalu sering ke pantai. Cara saya berbicara waktu itu pun mulai dipengaruhi logat Bali. Karena saya harus sedikit bisa berbicara bahasa mereka. Seru sikh, ternyata bahasa Bali hampir sama dengan bahasa Jawa halus.

Perjalanan hidup saya semakin berwarna selama di Bali, terkadang saya sering menghabiskan waktu di bar sepanjang jalan Dhyanapura to 66 untuk berkumpul bersama sahabat-sahabat saya hingga dini hari. Dan bahkan saya pernah datang kesebuah bar selama 7 malam berturut – turut untuk menemani seorang teman dari Australia dan pacarnya berlibur di Bali. You can be what you want here and no body cares about you. That’s what I like clubbing in Bali. You can wear your short pants, T-Shirt or sandals. Tanpa harus dress up habis dan bisa pindah dari bar yang satu ke bar yang lain. Party, party and party.....hehehhehee. Hingga suatu saat saya pernah hampir mabuk dan sesampainya didekat rumah, pintu gerbang saya tabrak secara tidak sengaja. Hingga pintu tersebut tidak dapat ditutup....hehehehehe.

My Mom sering menemani saya selama tinggal di Bali. Apalagi disaat bulan puasa, saya membutuhkan beliau untuk mempersiapkan dan menemani saya makan sahur dan buka puasa. Berpuasa di Bali sangat menggoda, pertama udaranya yang panas dan juga hmm....godaannya yang sangat besar sekali. Buka puasa di Bali lebih cepat 1 jam dari Jakarta, karena sudah masuk waktu Indonesia Tengah. Sholat tarawih diadakan didalam rumah saja karena cukup jauh masjidnya. Sebenarnya jarak dari rumah ke masjid hanya sekitar 1 km saja. Pertama kali mau buka puasa saya membeli nasi lawar didekat rumah. Ternyata nasi lawar seperti nasi urap di Jawa dicampur oleh lawar (darah babi yang dikeringkan seperti didih di Jawa – daging sapi yang dikeringkan sehingga menyerupai daging). Akhirnya nasi lawar tersebut saya berikan kesalahsatu teman yang mau makan nasi lawar + B2 tersebut.

Pasar Badung adalah salahsatu pasar terbesar dipulau Bali. Ibaratnya pasar ini adalah pasar induk di Jakarta. Berbagai macam bahan baku makanan, textile, hingga kerajinan tangan tersedia disini. Dan mengenai harga sangat murah sekali. Ada cerita sendiri, semasa Mama saya baru pertama kali berkunjung kepasar ini. Dengan enaknya Mama menawar daging yang dijual di lapak penjaja daging segar. Saya tahu bahwa daging itu adalah daging babi, yang notabene diharamkan untuk dikonsumsi kaum muslim seperti kami. Kemudian saya sedikit berbisik bahwa daging yang sedang dipegang Mama saya adalah daging babi. Buru-buru Mama saya segera bergegas pergi dan saya hanya tersenyum karena melihat Mama saya sedikit mengomel karena saya tidak memberitahu beliau sebelumnya. Pasar Badung sangat ramai dipagi hari dan biasanya transaksi perdagangan dibuka sejak pukul 4 pagi dini hari.

Pasar Badung sendiri terdiri dari tiga lantai, lantai dasar menjual berbagai macam kebutuhan pokok makanan dan berbagai macam bunga untuk upacara harian masyarakat Hindu Bali. Canang (serangkaian bunga dan janur yang berbentuk persegi empat kecil) dijual seharga Rp 1,000 – 2,000 perbuah. Satu orang harus memberikan canang sebanyak 3 x untuk sembahyang pagi, siang dan sore hari di setiap pelinggih (tempat ibadat setiap keluarga). Sebagian besar janur didatangkan dari Jawa dan bahkan beberapa bunga segar dari kota Malang dan Situbondo.

Lantai dua pasar Badung adalah tempat menjual textile dan terdapat sebuah tempat menjual kerajinan tangan yang harganya hampir sama dengan harga di pasar Sukawati. Dan diujung lantai dua terdapat sebuah toko kecil yang menjual kerajinan perak bakar. Disini saya bisa menghabiskan waktu hampir 1 jam hanya untuk memilih perak bakar dalam bentuk patung dan lain sebagainya atau hanya untuk ngobrol dengan si Ibu pemilik toko yang sangat ramah. Sesekali saya berbicara dengan bahasa Bali seadanya.

Lantai atas pasar Badung dijual berbagai macam kebutuhan upacara, mulai dari kain poleng (hitam putih kotak-kotak), payung hias, patung, tempat besek dari lidi (tempat menaruh makanan atau sesaji) dan bahkan uang kepeng. Uang kepeng ternyata dijadikan sebagai salahsatu alat ritual untuk upacara dan lain sebagainya. Pokoknya sangat tidak membosankan sekali menghabiskan waktu di pasar ini. Selain itu pasar ini cukup bersih karena banyak wisatawan asing berkunjung dan bahkan disamping pasar ini mengalir sebuah sungai yang berair jernih. Tidak jarang ditemukan satu atau dua orang sedang asyik memancing disungai ini. Coba kalau di Jakarta, dijamin sungainya berwarna hitam dan bau karena dekat pasar.

Kenangan saya lainnya adalah menikmati upacara Ngaben yang cukup besar waktu itu. Ngaben tersebut diadakan disebuah pemakaman umum dikota Denpasar dekat puri pemecutan. Puri Pemecutan adalah puri kedua tersebesar di Bali setelah puri Gianyar. Masyarakat Bali mengenal akan tingkatan Kasta dan para bangsawan seperti keluarga kerajaan tinggal di puri. Dan menurut sejarah ada sekitar 4 atau 5 kerajaan besar di Bali, salahsatunya Denpasar.

Kebetulan kaum bangsawan seperti kebanyakan para bangsawan di Jawa, kaum prianya boleh memiliki lebih dari satu istri. Dan kali ini raja dari puri pemecutan dibunuh oleh salahsatu saudara tirinya karena konon masalah kekuasaan. Sehingga harus diadakan upacara Ngaben yang besar di pemakaman tersebut. Saya dan Mama kemudian berkunjung ke pemakaman tersebut untuk melihat upacara Ngaben. Karena keluarga kerajaan maka dilakukan upacara yang besar, biasanya bisa menghabiskan biaya hingga 1 miliar rupiah lebih. Kali ini upacara dibuka oleh serombongan tarian perang dibawakan oleh para pria dengan iringan tabuhan gamelan yang sedikit melankolis.

Dan ternyata apabila ada Ngaben keluarga kerajaan, maka diperbolehkan diadakan upacara Ngaben massal untuk masyarakat biasa. Masyarakat Hindu Bali dari kasta rendah biasanya mereka menguburkan jenasah keluarganya terlebih dahulu sampai ada dana untuk melakukan upacara Ngaben. Beberapa mayat sudah membusuk, sebagian lagi masih ada yang utuh karena baru beberapa hari dikuburkan dan bahkan ada yang sudah menjadi tulang belulang. Mereka dijajarkan dan diberi sesaji serta disucikan oleh Pedanda (pemimpin agama). Setelah sang raja ditaruh dalam gedebage (sebuah peti mati yang berbentuk sapi dan mempunyai atap bertumpuk sejumlah kastanya, kasta bangsawan seperti raja biasanya mempunyai atap sembilan buah) barulah upacara dimulai. Sebuah kompor gas dinyalakan dan membakar kayu kering yang diletakkan dibawah peti mati tersebut. Lambat laun api semakin membesar dan membakar seluruh peti mati tersebut. Hingga hanya abu dan aroma daging terbakar menjadi satu sore hari itu dikawasan pemakaman. Sementara beberapa jenasah kasta rendah juga sudah mulai dingaben. Saya jadi ingat salahsatu scene dalam film Schindler’s List, sewaktu tuan schindler dan sang istri sedang asyik berkuda dan tiba-tiba debu beterbangan. Debu beterbangan itulah yang kami alami waktu itu, sebenarnya berasal dari debu yang dihasilkan oleh pembakaran jenasah dan kayu bakar. Sayang waktu itu, saya belum mampu membeli sebuah kamera digital. Pasti sangat indah sekali melihat proses Ngaben seorang raja waktu itu dan bahkan atraksi unik ini menjadi santapan buat para turis asing waktu itu yang juga turut hadir.

Oh iya, menurut teman saya apabila ada Ngaben pada sore hari maka kawasan tempat Ngaben tersebut dilarang dimasuki oleh masyarakat awam pada malam hari, karena konon banyak leak (sosok setan yang menyeramkan) bergentayangan diareal Ngaben tersebut.

Satu hal lagi di Bali sangat aman, karena saya sering pergi pada malam hari naik motor dan pada saat parkir motor atau mobil tidak perlu dikunci ganda seperti di Jakarta. Masyarakat Bali diharamkan mencuri karena mereka takut akan hukum adat. Hukum adat lebih dihormati karena apabila melanggar mereka bisa dikeluarkan dari banjar (desa) tempat mereka tinggal. Tidak aneh, apabila kalian sewa mobil atau motor selama di Bali tidak perlu ada uang jaminan atau deposit. Karena kalian tidak bisa membawa kabur mobil atau motor tersebut keluar dari pulau Bali.

Pencuri di Bali biasanya mencuri Babi. Babi adalah salahsatu hewan ternak favorit bagi masyarakat Hindu Bali setelah ayam dan sapi. Karena mereka memerlukan babi untuk upacara kecil dan besar. Sapi Bali sangat unik dan berbadan subur dengan warna coklat muda dan bulatan putih dibagian pantatnya (maaf). Sapi Bali malah dijual keluar pulau seperti ke Jawa atau Kalimantan untuk dipotong. Karena masyarakat Hindu Bali dilarang memakan daging sapi yang merupakan kendaraan para dewa Hindu. Sapi bisa tersebar dimana-mana, hingga suatu saat saya pernah menabrak seekor sapi yang sedang berlari kencang karena hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Ibarat manusia, ia mencari tempat berteduh tapi sayang ia harus menyebrang jalan dan tidak melihat bahwa mobil saya sedang meluncur. Untungnya sapi tersebut hanya terguling dan bisa berdiri kembali. Saya sempat shock tapi akhirnya tertawa setelah melihat tingkah sapi tersebut yang lari tunggang langgang.

Pada saat Nyepi adalah hari libur besar di Bali dan saya tidak pernah menikmati liburan tersebut. Maka saya memilih mengungsi kembali ke Jakarta. Karena menurut rekan-rekan kantor, pada saat Nyepi kita tidak boleh menyalakan sebuah lampu sedikitpun. Apabila ketahuan menyalakan lampu pada saat malam Nyepi maka bisa dikenakan sangsi hukum adat yang berlaku sesuai banjar masing-masing.

Pada saat Galungan seperti hari besar Lebaran di Indonesia, maka ratusan ribu umat Hindu di sekitar Kuta dan Legian serta Denpasar adalah saat tepat untuk pulang kampung. Mereka berpesta dengan memotong babi dan bahkan kantor – kantor pemerintahan setempat banyak membagikan daging babi bagi para pegawai negri sipil (PNS) layaknya umat muslim membagikan daging kurban pada saat Idul Adha. Kebetulan saya mempunyai sahabat yang tinggal di Puri Sukawati, tepat didepan pasar Sukawati. Puri alit (kecil) ini masih merupakan bagian dari keluarga besar kerajaan Gianyar. Nah pada saat galungan, saya sering berkunjung membawakan kue kepada keluarga teman saya tersebut. Rumahnya sangat luas sekali dan dikelilingi tembok tinggi layaknya forbidden city di Beijing. Sayapun mencoba berbusana Bali, berbaju koko warna putih dengan kain sarung khas Bali dan memakai udeng (semacam topi khas Bali berwarna putih/kuning/hitam/biru, karena setiap warna mempunyai berbagai arti untuk setiap upacara). Karena saya tidak makan babi, maka keluarga teman saya biasanya juga memasak makanan lain. Karena banyak juga warga Hindu Bali yang vegetarian seperti kebanyakan umat Hindu lainnya di dunia.

Saya bingung pada saat pertama kali berkunjung pas Galungan, karena sangat sepi sekali. Ternyata mereka berkumpul dibalai pertemuan yang terletak dihalaman belakang puri yang cukup luas, kaum prianya sedang asyik bermain kartu remi dan kaum wanita sedang asyik mengobrol. Saya pun kemudian bergabung dengan mereka. Minuman keras seperti bir atau arak juga tersedia. Suasananya sangat bersahaja sekali walau mereka dari golongan bangsawan.

Pada saat liburan Lebaran, masyarakat muslim Jawa dan Lombok yang tinggal dipulau ini berbondong-bondong keluar dari pulau ini. Saya dan beberapa teman kantor segera melakukan konvoi menuju ke kepelabuhan Gilimanuk untuk menyebrang ke pulau Jawa. Huh kemacetan totalpun terjadi, waktu tempuh ke pelabuhan biasanya hanya 2 jam dan kini harus ditempuh selama hampir 5 jam. Belum lagi harus mengantri kapal ferry. Kenapa tidak dibangun jembatan penghubung saja? Konon masyarakat Bali kurang setuju akan pembangunan jembatan ini karena takut derasnya arus urbanisasi ke pulau Bali dari Jawa dan apalagi semenjak ada peristiwa bom Bali. Bahkan setelah bom, penjagaan didua pelabuhan yaitu Gilimanuk dan pelabuhan Padang Bai ke Lombok lumayan ketat. Bahkan sering ada razia KTP dipelabuhan ini, kalau ketahuan tidak punya KTP sementara di Bali mereka bisa dilarang masuk ke pulau ini. Good thing to do!!

Satu hal lagi yang tidak saya lupakan adalah rasa hormat warga Hindu Bali terhadap umat agama lain. Masjid banyak ditemukan dipulau ini dan juga bahkan Gereja Katolik atau Protestan. Masjid bahkan banyak ditemukan apabila Anda mulai memasuki area danau Bedugul dan mengarah ke Singaraja. Gereja Katedral juga terdapat di Denpasar dengan desainnya yang unik perpaduan Bali dan klasik. Wilayah jalan Gatot Subroto selatan banyak terdapat komunitas kristiani. Masyarakat Bali pun tidak marah terhadap kaum muslim setelah bom Bali, yang notabene para pengebomnya adalah kaum muslim militan yang berakal bodoh. Tidak aneh apabila semua agama dan kepercayaan ada dipulau ini, bahkan sekte Falun Gong berkembang dipulau ini. The way they respect us and forgive what had happened are amazing.

Kenangan lainnya adalah sewaktu mobil saya mogok sebuah jalan raya yang terletak ditengah – tengah persawahan. Malam itu saya bisa melihat kebesaran Tuhan yang lain, yaitu indahnya kerlap kerlip bintang dimalam hari. Menikmati keindahaan bintang dimalam hari adalah salahsatu hal yang bisa dijadikan atraksi buat wisatawan asing dan lokal. Pulau ini masih bebas polusi dan bahkan tidak seterang cahaya dimalam hari di kota Jakarta dan sekitarnya. Hmm....andaikata dipulau ini dibuat sebuah teropong bintang yang besar, pasti bisa dijadikan wisata yang menarik. Hingga suatu saat saya pernah melihat bintang jatuh karena begitu bersihnya langit malam itu disekitar persawahan. I had said a wish for my self at that time. It was so fascinated to see the stars.

Kini Bali semakin ramai dan banyak persawahan yang telah berubah menjadi vila atau hotel baru. Bahkan trend untuk memiliki property di Bali semakin meningkat. Era tahun 80 dan 90-an adalah era memiliki property di Puncak, Bogor bagi para The Haves. Kini areal kawasan Jimbaran yang tandus dan berbatu kini banyak diincar oleh para pemburu property. Memang gejala tersebut sudah terbaca semenjak pertengahan tahun 2004, banyak orang kaya baru (OKB) di Jimbaran karena mereka menjual tanahnya pada orang asing. OKB Jimbaran sangat konsumtif dan tradisional, mereka tidak menyimpan uangnya di bank. Tapi mereka lebih suka membeli barang-barang mewah untuk prestige seperti sepeda motor, spring bed, perhiasan emas, dll. Tapi mereka tidak menabung uang tersebut untuk masa depan dan bahkan terkadang para prianya yang sebagian besar memegang hak kekayaan keluarga, menghabiskan uang tersebut untuk berjudi, menyambung ayam, minum minuman keras dan bahkan main perempuan.

Dikawasan Sanur, banyak ditemukan rumah pelacuran yang bersisi wanita dari suku Jawa dan Sunda. Karena konon pria Bali menyukai wanita dari pulau Jawa yang terkenal cantik, padahal banyak wanita Bali yang cantik dan eksotis lho. Kalau Anda melihat sebuah rumah dikawasan Sanur dengan nomor belakang tambahan huruf X bisa diindikasikan bahwa rumah tersebut adalah rumah pelacuran terselubung.

Miris melihat ratusan hektar area di Bali dijual begitu saja disebuah majalah property. Suatu saat masyarakat Bali hanya menikmati saja lahan yang sudah diwariskan secara turun temurun, apabila peraturan mengenai penyewaan atau penjualan lahan kepada orang asing tidak diatur secara bijaksana. Didaerah Petitenget tempat saya biasa beristirahat di sebuah vila milik sahabat, kini banyak didirikan vila pribadi yang mewah dan konon salahsatunya dimiliki oleh selebriti Hollywood. Padahal dulunya lahan tersebut masih berupa sawah yang subur dan sangat indah pemandangannya karena kontur tanahnya yang berbukit. Dan bahkan dipetitenget terdapat sebuah gang terkenal yang bernama gang Hollywood karena konon banyak artis Holywood yang menghabiskan waktunya di private villa sekitar wilayah tersebut.

Salahsatu property yang saya minati adalah dipantai padang-padang, apabila Anda pernah melihat film “Badai Pasti Berlalu” ada sebuah rumah dipinggir tebing dengan view samudra India. Yakh.....itulah salahsatu impian saya. Dulu rumah itu belum berdiri, dan saya membayangkan mempunyai rumah diatas pantai padang-padang yang langsung menghadap ke samudra luas dan laut Jimbaran. Sim salabim.........rumah itu kini sudah jadi dan saya tidak tahu milik siapa. Wah rupanya impian saya sudah sirna sekarang karena lahan tersebut sudah dimiliki oleh orang lain....hehehee. Dan ada sebuah property baru di Jimbaran yang berbudget USD 1 juta pervila, dan hanya dibangun 10 vila saja. Setahun yang lalu vila tersebut sudah laku terjual dua buah, konon kepada keluarga Sultan Brunei dan aktor Tom Cruise. Bvlgari Hotel kini sudah megah berdiri dipinggir tebing Jimbaran, padahal pada waktu pembangunannya tidak boleh ada orang lain yang masuk dan mengambil gambar.

Padahal dua tahun yang lalu property hotel diselatan pulau yang paling menarik saya adalah Amannusa dan The Bale di Nusa Dua serta Ritz Carlton di Jimbaran. Hiburan yang paling menarik adalah merasakan nikmatnya berendam di Thallaso Spa di Ritz Carlton Hotel yang langsung menghadap samudra dan bisa menikmati sunset sambil berendam di airnya yang hangat. I love that. Sometimes we need to relax in luxurious treat.

Kini pariwisata di Bali sudah hidup kembali dan bahkan sudah mencapai 1,5 juta turis asing di tahun 2007 lalu. Tapi sayang kemarin terjadi sebuah peledakan lagi disebuah kawasan di Bali yang menurut laporan bermotifkan balas dendam. Tapi kenapa harus dengan bom lagi, sebuah bom bukan hanya menghilangkan sebuah nyawa tapi membuat ribuan pengangguran muncul di pulau ini. Selain itu, pariwisata harus dikembangkan kearah Bali Utara. Sebagian besar masyarakat di Klungkung dan Nusa Penida masih berada dibawah garis kemiskinan.

Now I miss nasi lawar at warung Kedewatan, Ubud. Warung tersebut buka hanya sampai pukul 4 sore dan menjual nasi lawar yang halal. Pertama kali buka, warung ini sangat sederhana sekali dan bahkan tidak ramai pengunjung. Kini warung tersebut ramai dikunjungi oleh para penikmat makanan halal khas Bali. Pasar senggol Gianyar, pertama kali masuk kepasar malam ini karena ajakan seorang teman yang ingin makan daging babi panggang. Konon daging babi panggangnya sangat lezat, karena saya tidak makan babi maka saya hanya pesan sate ayam yang dijual oleh seorang pedagang sate dari Madura. Dan waktu enak-enaknya makan, piring teman saya ketiban kulit kering babi yang besar diatas piringnya. Untung saja tidak menimpa piring saya....hahahahhaa.

Awal Januari 2004, saya harus mengakhiri tugas saya di Bali karena harus kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan kuliah tugas akhir dan juga karena mendapatkan pekerjaan baru. Ada perasaan sedih waktu ingin meninggalkan pulau tersebut. Hari-hari terakhir, saya didaulat oleh seorang teman untuk menjadi juri sebuah acara dan terakhir ditutup dengan minum bersama. We got drunk at the time. Dan malam sebelumnya, saya dan Edo – my best friend duduk dipantai Kuta menikmati debur ombak dan pasirnya serta malam yang penuh bintang. Hmm....ada perasaan sedih harus meninggalkan pulau ini. Terlebih lagi saya sudah sangat mencintai pulau ini, teman – teman saya, budaya dan masyarakatnya. Pada saat masuk bandara Ngurah Rai, saya tidak mau diantar oleh teman-teman. Hanya supir kantor yang menemani saya sampai bandara. I miss Mbak Titin – my best secretary, Ibu – pembantu di kantor yang setia menyetrika baju-baju saya selama disana, Ambo dan Yudi yang dengan setia menemani saya bekerja, dan Pak Joko – my best driver. I couldn’t hold my tears pada saat pesawat tinggal landas dan sambil menatap pulau dewata tersebut dari jendela kabin pesawat yang akan membawa saya kembali ke Jakarta. Minggu pertama di Jakarta terasa berat, karena saya harus bangun pagi, terjebak kemacetan dan menghirup udara yang polusi. Saya harus bergerak cepat mengikuti ritme kerja yang cepat di Jakarta, padahal selama di Bali semuanya bergerak dengan lambat.

Saya tidak pernah melupakan sedetik waktupun selama berada dipulau yang eksotis ini. My love life, my business and my pleasure were so great. I promise to keep coming back each year. Someday I wanna visit my previous office to see my people there. I miss them alot. If GOD wishes, I would like to stay there at the rest of my life.

Memoir of Bali - part one


Indonesia’s most renowned island, Bali is topped a list of 10 top romantic destinations in Asia beating Phuket’s Thailand and Shanghai’s China, a survey by online accomodation website www.wotif.com has found. Tulisan tersebut muncul di koran The Jakarta Post edisi tanggal 15 Februari 2008. Dan sebelumnya diberbagai media lokal juga diberitakan bahwa Bali kembali masuk dalam daftar sebagai the Best Island Resort in the World oleh majalah pariwisata terkemuka didunia Conde Nest Travel.

Memang pulau Bali sangat eksotis buat saya dan ribuan orang lainnya dimuka bumi ini, sehingga pada saat kedua kaki saya pertama menapaki Bandara Ngurah Rai ada suatu ambience sendiri yang berbeda dari kota-kota lainnya yang pernah saya kunjungi. Saya tidak pernah bosan akan pulau yang satu ini.

Thanks Bill!! Bill was my boss at my previous company who had sent me to Bali couple years ago. My first job destination was in Surabaya. I stayed there for 3 months and one day, my boss asked me to set up the branch office in Bali. I was speechless and so excited hearing that I was being delegated to the island. Then I picked up all my stuffs and with a driver, we went to the island by car with 8 hours driving. This was my first journey to Bali by car. I was enjoying the journey, because this was my first sight to see Pasuruan, Probolinggo, Situbondo and Banyuwangi – the nothern part of East Java, as people called “Tapal Kuda”.

Before reached the island, we must across the strait. My driver told me that we must stayed on the deck rather than staying inside of the car. He was absolutely right. I could the smell the beauty of the island, north was the Bali national reserve park with its natural beauty and a shadow of the a mountain behind it. Meanwhile, Mount Ijen stood up behind me on the tip of Banyuwangi, saying goodbye. Finally, I reached the island of Bali through port of Gilimanuk. And it was dated on mid of 2002.

Perjalanan saya kemudian berlanjut dan sebuah pura rambut siwi yang cukup sakral menyambut saya disisi kanan jalan dan tampak beberapa ekor kera berjejer dipinggir jalan dengan harapan para pengemudi melemparkan sedikit makanan kepada mereka. It was really nice. My office was at Jalan Padangsambian, Denpasar. Dan waktu perjalanan masih harus ditempuh selama 2 jam lagi. Cukup melelahkan, Cuma semuanya tidak terasa karena saya sangat menikmati pemandangan yang sangat indah, pematang sawah yang menghijau dengan sisi kanan jalan adalah pantai berpasir hitam. Yang belakangan saya baru mengetahui bahwa pesisir pantai tersebut menyimpan sejarah kelam bangsa ini. Pada tahun 1965 – 1970, pembunuhan besar-besaran terjadi dipantai berpasir hitam ini yang memanjang dari Gilimanuk hingga Kerambitan. Mereka yang dianggap PKI dibunuh dipantai ini dan jenasah mereka entah dikemanakan, mungkin dilarung di pantai yang langsung menuju ke bagian Samudra Indonesia. Kalau Anda masih ingat cuplikan cerita film GIE, ada salahsatu scene yang menggambarkan tentang pembunuhan besar-besaran dipulau Bali setelah era Orde Lama berakhir. One of my friends who stays in German, once told me about one of his family who had disappered by mass murdered in Bali.

Akhirnya perjalananpun berakhir, kami tiba disebuah ujung jalan dimana terdapat sebuah pohon beringin besar yang diberi kain kuning dan terdapat sebuah pelinggih untuk menaruh sesaji harian. Kami berhenti di depan sebuah pagar tinggi yang mengitari sebuah rumah dengan luas 1 hektar, seorang wanita berumur tengah baya segera membuka pintu gerbang. Inilah kantor dan tempat tinggal saya selama bekerja di Bali untuk waktu yang tidak ditentukan. Saya kemudian diperkenalkan oleh sejumlah orang yang berada di tempat tersebut, yang dikemudian hari mereka kelak akan menjadi mitra kerja saya.

Saya dibawa keruangan kerja yang cukup lebar oleh wanita tersebut yang bernama Mbak Titin. Next she was my secretary and general affairs. Then she guided me to my room. Kamar saya sangat sederhana sekali tapi cukup nyaman sebagai tempat tinggal. Huh, finally I could lay down my rested body till I slept over and no one waked me up till dawn.

Next morning, I was ready to start my new job and environment. Tapi perut saya terasa lapar. Selama di Surabaya, ada seorang pembantu yang sudah menyiapkan makan pagi untuk saya. Kali ini, saya harus mencari sendiri makanan untuk sarapan pagi. Huh....saya belum tahu banyak tentang tempat makan yang halal di dekat rumah. Akhirnya saya harus keluar sebentar dan mencari rumah makan terdekat untuk sarapan. Warung Banyuwangi begitu masyarakat Bali menyebut warung makan layaknya warung tegal di Jakarta. Karena sebagian besar penjual makanan diwarung tersebut berasal dari Banyuwangi.

My driver took me to our business chanelling and I tried to remember the streets. Saya juga ingin segera menikmati pemandangan sunset dipantai Kuta sore itu. My driver took me to the most famous beach in Bali. Gosh.....I sat on the beach and it was like a dream. I never dreamt before that I would be here for a living. And OMG, I didn’t have a friend. I was absolutely alone at the time. Then I remembered someone. An old friend who I ever visited him in Bali couple years ago. I tried to seek his contact number in my memory. Yup.....I found his contact. Then I called him.
My first contact was succeed and the next day, my old friend visited me at my office. He took me away and introduced me to some places. Kebetulan teman saya tersebut sudah cukup lama tinggal di Bali dan pada saat akhir pekan dia sering mengundang saya untuk bermain kartu remi dengan teman-temannya. Seru juga karena saya tidak mempunyai kenalan lagi. Kami sering main kartu remi hingga pukul 3 dini hari. Next agenda was partying. Teman saya tersebut sering diundang ke berbagai macam pesta selama diBali dan saya sering diajak bergabung kepesta tersebut. Ya hitung-hitung untuk perkenalan. Dan tidak seperti kebanyakan pesta di Jakarta yang selalu formal, pesta di Bali selalu informal. The hosts knew that it’s a resort island, so forget your full dress!

Bali was so crowded at the time, so many foreigners visited it.Till one day, bad thing was happened in Bali. Sebuah bom meledak dasyat di Legian. Kebetulan saya waktu itu sedang berada di Jakarta untuk menghadiri meeting internal dengan pemegang saham. Saya sangat sedih semasa melihat tragedi bom Bali di bulan Oktober 2002. Saya sempat menangis melihat pulau yang indah tersebut terkoyak, puluhan mayat hangus terbakar. It was a big horror. Saya segera menghubungi kantor diBali dan menanyakan keberadaan para karyawan dikantor. Bom meledak pada waktu hari Sabtu malam di Legian dan saya bisa membayangkan betapa macetnya jalan tersebut malam itu. Perasaan marah dan sedih bercampur menjadi satu.

Binis di Bali berada dititik nol pasca Bom tersebut. Ratusan ribu pegawai perhotelan dan restoran banyak yang menjadi pengangguran. Mereka kembali kepedesaan di Bali dan banyak yang menjadi pekerja kasar. Para turis hengkang dari pulau tersebut dan dalam waktu hitungan hari, pulau Bali menjadi sepi dari para turis yang biasanya memenuhi setiap sudut di Kuta, Legian, Nusa Dua dan Ubud. Jalan raya di Legian yang satu arah tempat terjadinya bom tersebut masih ditutup untuk umum. Dan dipulau yang masih sakral ini, ditempat lokasi kejadian tersebut tersimpan banyak cerita horor yang menakutkan. Salahsatunya dialami oleh teman saya yang menjadi relawan untuk mengidentifikasi jenasah yang hangus terbakar.

Setelah hampir lebih dari satu bulan jalan Legian ditutup akhirnya dibuka kembali untuk umum. Bangunan yang hancur sebagian ada yang masih utuh dan sebagian ada yang sudah diperbaiki dengan bantuan dana dari pemerintah Indonesia dan Australia. Pada saat malam hari, tidak banyak mobil yang berani melintas dijalan ini. Masih banyak yang takut karena banyak cerita horor yang terjadi. Hingga suatu saat, warga Hindu Bali melakukan ritual pembersihan area tersebut dari niskala dan memohon agar para arwah diberikan jalan yang lapang disisi Tuhan YME. Believe it or not, pada saat upacara pembersihan berlangsung seorang wanita kerauhan (kerasukan). Wanita tersebut bisa lancar berbahasa Inggris dan hendak berbicara dengan keluarganya yang berasal dari Australia yang hadir diacara tersebut. Sepertinya ia hendak menitip pesan.

Kemudian lokasi pengeboman yang berada disisi kanan dan kiri jalan Legian Raya, ditutup oleh seng dan ditanami oleh pohon pisang. Menurut adat Bali, pohon pisang tersebut tidak boleh dipotong sampai pohon tersebut berbuah.

Bisnis dalam keadaan sekarat dipulau tersebut. Omzet perusahaan menurun dengan drastis dan saya harus memulai kembali dari nol. Terkadang disaat sepi, saya sering menghabiskan waktu dipantai Kuta, membeli sebuah minuman ringan dari Circle K yang terletak disebrang jalan, dan terkadang berbicara dengan para penduduk lokal yang bermata pencarian sebagai pemijat, pembuat tattoo serta penyewaan surfing board. Semua mengeluh, SEPI!! Sementara mereka harus menafkahi keluarga mereka dan para turis asing yang menjadi langganan mereka kini hampir dikatakan tidak ada.

Suatu saat saya sedang berlibur dikawasan Melia Hotel, Nusa Dua. Pantai putih dan birunya laut memaksa saya untuk menikmati keindahan alam tersebut. Seorang wanita Bali tampak sedang asyik mengumpulkan rumput laut yang tersebar disepanjang pantai tersebut. Saya kemudian menanyakan tentang aktivitasnya. Dia kemudian bercerita, sebelum bom Bali terjadi ia adalah seorang pegawai housekeeping disebuah hotel bintang lima di kawasan Nusa Dua. Kini ia harus dirumahkan karena tamu yang menginap bisa dihitung dengan jari. Sementara suaminya masih bekerja sebagai juru masak dihotel tersebut. Untuk menambah penghasilan keluarga ia harus mengumpulkan rumput laut dan kemudian dikeringkan serta dijual. Dalam sehari ia bisa mengumpulkan uang sebesar Rp 10.000 – 20.000 saja. Jumlah yang sangat sedikit sekali. Saya iba dengan beliau. It’s so ironic.

Enam bulan pasca bom Bali, pariwisata mulai bergeliat kembali walau tidak seramai dahulu. Di Legian bisa disaksikan beberapa turis asing sedang menaruh bunga dan memanjatkan doa ditempat ground zero (sebutan untuk tempat peledakan bom). Menurut sahabat saya, bom Bali memberikan pelajaran sendiri bagi para pelaku wisata di Bali. Sebelumnya para pelaku wisata sangat tourist oriented sekali, dengan kata lain mereka sering membedakan service antara turis lokal dengan turis asing. Terkadang turis lokal tidak diperhatikan, sehingga suatu hari pada saat kami sedang memesan minuman disebuah bar. Kami tidak dilayani, sementara sepasang turis asing yang baru tiba langsung dilayani. Sahabat saya sangat marah atas perlakuan yang berbeda tersebut dan kami langsung meninggalkan tempat tersebut. Dan konon salahsatu bar yang diledakkan tersebut juga tidak mau menerima turis lokal, hanya turis asing saja yang diperbolehkan.

Hingga suatu saat, salahsatu teman wanita saya yang bersuamikan seorang bule Amerika dilarang masuk ke dalam bar tersebut. Alasannya ia bukan turis asing, betapa tersinggungnya teman saya tersebut. Ia merasa disepelekan dan bahkan suaminya yang warga negara Amerika Serikatpun merasa tersinggung dan ia bilang bahwa teman saya tersebut adalah istrinya bukan wanita simpanan. Akhirnya pasca bom Bali tersebut, para pelaku wisata mulai ramah terhadap turis lokal. Karena hanya dari turis lokallah mereka bisa terus hidup dan berbisnis dengan baik. Terlebih pada saat pemerintahan Megawati, banyak libur nasional kejepit yang dibuat menjadi long weekend untuk menghidupkan pariwisata di Bali. Dan bahkan para pemilik hotel pun melakukan discount besar-besaran dan salahsatunya beberapa hotel dikawasan Nusa Dua melakukan kerjasama dengan Singapore Airlines. Mereka membuat paket perjalanan ke Bali dengan harga sekitar 200 Sing Dollar untuk perjalanan PP Singapore – Bali dan menginap untuk 2 malam di beberapa hotel di Nusa Dua. Sangat murah sekali dan hasilnya cukup signifikan. Beberapa hotel tampak mulai dipenuhi oleh turis asing dari Singapore dan bahkan Taiwan.

Monday, February 04, 2008

Disneyland di Bintan

Seperti yang tertulis di Harian Bisnis Indonesia tanggal 2 Februari 2008, diberitakan bahwa Landmarks Holding Company bersiap menggarap Kawasan Wisata terpadu Eksklusif (KWTE) Treasure Bay Bintan di Kepulauan Riau dengan investasi sekitar Rp 24 triliun atau Sin$ 17 miliar menarik perhatian saya.

Landmarks Holding merupakan perusahaan asal Malaysia yang telah menyatakan kesanggupannya menjadi investor utama Treasure Bay Bintan. Diwilayah seluas 338 hektar tersebut akan dibangun kawasan resort dengan jumlah kamar 1,500 buah yang dilengkapi dengan fasilitas apartemen, marina, gerai hiburan dan pusat budaya Indonesia.

Untuk pusat hiburan sendiri akan dilengkapi arena wisata seperti Disneyland, Sea World, Dunia Fantasi serta Marina dan akan menjadi resort tersebesar di Asia saat ini.

Wah seru juga kalau beneran Disneyland akan dibangun di Bintan, jadi nggak perlu jauh-jauh ke Hongkong atau Tokyo. Rencana Singapura sempat akan membuka kawasan wisata Disneyland dan bahkan baju seragam untuk karyawannya sudah dirancang oleh salahsatu desainer kenamaan Indonesia. Cuma sayang akhirnya tidak pernah terwujud dan malah tersaingi oleh Hongkong yang sudah membuka Disneylandnya sekitar 1 tahun yang lalu.

Nah cuma yang menjadi pertanyaan apakah betul Disneyland akan dibuka disana? Atau hanya tempat hiburan biasa cuma bertema seperti Disneyland di Hongkong atau tempat lainnya? Hmm....coba tunggu saja nanti. Andaipun benar akan dibangun Disneyland di pulau Bintan pasti seru, cuma aksesnya lewat mana yakh?

Selama ini kepulau Bintan harus naik feri dari pulau Batam atau Kepulauan Riau. Belum lagi fasilitas penginapan yang mahal di pulau tersebut. Karena memang sengaja dibuat untuk para wisatawan asing dari negri singa. Belum sempat neh ke pulau Bintan...padahal alamnya sungguh menarik.....

Sunday, February 03, 2008

A Tragic Story of Life and Love


Pada saat saya berada didepan loket Mega 21 di Bekasi, saya bingung harus memilih film mana yang saya ingin tonton siang itu. Ada beberapa pilihan film seperti Otomatis Romantis, Kawin Kontrak, Radit n Jani, Hantu Jembatan Ancol serta 3:10 to Yuma dan beberapa film lainnya. Mega 21 Bekasi yang berlokasi di pusat perbelanjaan Giant Bekasi merupakan cineplex terbaru dan termegah di kawasan Bekasi saat ini. Cineplex ini mempunyai 7 buah ruang theater dengan kapasitas yang cukup besar dan megah serta konon akan dibangun 1 buah ruang theater terbesar di tempat yang sama. Harga tiketnya pun cukup murah hanya Rp 15,000/orang dan fasilitas yang disediakan pun cukup lengkap.

Ruang utama cineplex tersebut cukup besar dan dilapisi karpet mewah dengan tampilan yang memikat, dilengkapi dengan 1 buah ruang cafe terbuka dan panggung musik dengan live band lokal pada malam hari. Sehingga pengunjung yang ingin merokok sambil menunggu jam tayang sebuah film, bisa menikmati fasilitas yang cukup baik menurut saya.

Kamar mandipun sangat bersih dan interiornya cukup baik. Mungkin perlu ditambahkan fasilitas wi fi di cafe terbuka tersebut, sehingga siapa saja bisa dengan mudah browsing internet. Kembali ke judul film yang akan saya pilih hari itu, saya cukup bingung sehingga harus bertanya kepada seorang gadis penjual tiket. Ibarat seorang promotion girl, ia harus bisa menjawab pertanyaan saya mengenai film yang saya ingin tonton. Saya diberikan dua pilihan film Indonesia yang akan diputar saat itu, komedi atau drama.

Karena saya tidak suka menonton film horor Indonesia, maka saya hanya mempunyai dua pilihan. Dan gadis penjual tiket tersebut menyarankan saya agar memilih film Radit dan Jani yang menurutnya bagus. Dan memang dari yang saya baca di blog teman-teman di multiply, film ini adalah suatu pilihan yang baik untuk disaksikan. It’s a big No No for me to see a movie without a good story. Radit and Jani was my choice at the time.

While the theater was opened, I came it and chose my seat. There were only 25 viewers seeing the movie at that time, but it’s quite enough for the minimum capacity. Sekitar 10 menit kemudian, film Radit dan Jani mulai diputar dilayar bioskop yang besar. Pada awalnya cerita film ini cukup membosankan dan mengingatkan saya akan sebuah film holywood yang bercerita tentang kebrutalan dua anak manusia yang saling jatuh cinta.

Radit yang diperankan oleh Vino G. Bastian sesuai skenarion yang telah ditulis, sering mengucapkan kata-kata yang tidak pantas berkali-kali seperti kata “TAI” seperti halnya kaum minoritas di Amerika mengucapkan kata “F*CK” sebagai ungkapan serapah. Sementara beberapa penonton film ini dibawah saya, terlihat serombongan ABG yang masih memakai baju seragam SMU mereka. Kurang layak untuk ditampilkan dengan vulgar difilm ini. Tapi apapun hasilnya, film adalah sebuah karya seni untuk dinikmati.

One day, saya pernah melihat sebuah fashion show perancang terkenal dari Bali. Di panggung catwalk, seorang peragawati terkenal dimasanya tampil secara topless dengan bawahan rok dari bahan metal. Penampilannya membuat para pengunjung fashion show terhenyak seketika, sebuah penampilan yang berani dimasa itu. Tapi hal tersebut dianggap sebuah seni dari kacamata penikmat seni seperti saya. Seperti halnya di film Radit dan Jani, kekerasan dan pola hidup yang tidak layak seperti mencuri makanan dan minuman dari sebuah mini market, merokok marijuana serta memakai rok mini yang ketat oleh Fahrani adalah sebuah pesan moral yang ingin diceritakan, a story telling who tells the audience that is not proper to be done. But still, our community is still learning what is right or wrong, especially for the teenagers.

Kekerasan yang ditampilkan membuat saya bosan selama awal film yang berlangsung sekitar 30 menit pertama. Perlahan tapi pasti, film ini mulai menunjukkan kualitasnya dari sisi penceritaan. Kepahitan hidup yang diakibatkan oleh sisi idealis Fahrani yang memerankan Jani serta Radit difilm ini cukup menarik untuk dipelajari. Jani seorang wanita dari keluarga yang cukup berada berani mempertaruhkan hidupnya untuk seorang pria yang ia cintai. Radit adalah sosok yang macho, pemain band yang berharap kaset demonya bisa menembus perusahaan label, tapi sebenarnya Radit adalah seorang yang rapuh dan pencemburu. Menurutnya, hanya ia yang seharusnya membahagiakan sang istri, bukan pria lain.

Beberapa kali, Jani harus menahan rasa lapar karena Radit, sang suami tidak mampu membelikannya makan dan minum yang layak, bahkan listrik dan air di rumah kontrakan mereka telah diputus oleh sang pemilik karena mereka menunggak pembayaran. Pada saat memasuki fase kedua film ini, penulis cerita dan sutradara berhasil membuat film ini tampil memikat. Permainan Fahrani sebagai pendatang baru didunia film Indonesia juga patut dihargai. Ia bermain cukup apik. She’s so sexy in this movie with her role.

Permainan Vino pun semakin bagus, pada saat ia memerankan karakter Radit yang sedang sakauw akibat obat-obatan, urat ototnya tampak keluar dan guratan wajahnya terlihat bak orang kesakitan. Rasa marah dan penderitaan yang ditimbulkan oleh Vino pada saat sakauw berhasil membuat penonton seperti saya terharu. Saya terharu melihat penderitaan dua anak manusia yang jatuh cinta dan berusaha untuk terus hidup.

Tiba-tiba seorang wanita muda disamping saya menangis setelah melihat beberapa adegan yang cukup mengharukan. Sebenarnya adegan tersebut biasa saja, cuma permainan apik yang ditampilkan dan music score yang muncul membawa imajinasi penonton pada titik yang mengharukan. Bagaimana Jani yang sedang mengandung 1 bulan dituduh berselingkuh oleh Radit dan ia sempat tidak mengakui anak yang sedang dikandung oleh Jani, sang istri. Serta adegan, bagaimana Jani mengunci Radit dalam ruangan karena sakauw. Ia dengan setia menemani sang suami dari balik pintu, menangis tersedu-sedu karena mendengar teriakan kesakitan sang suami yang sedang sakauw berat.

Betapa menderitanya seorang pecandu narkoba yang sedang sakauw dan tidak punya untuk membeli narkoba. Mereka harus berjuang untuk tetap hidup dalam kesakitan yang amat sangat, sungguh menakutkan. Makanya saya tidak pernah mau memakai narkoba semenjak salahsatu sahabat saya 12 tahun yang lalu harus masuk rumah sakit akibat overdosis. Buat saya memakai narkoba adalah keputusan yang bodoh dan fatal.

Baru kali ini ada film baru Indonesia yang bisa membuat para penonton terharu, yang berarti sang sutradara, penulis, pemain film berhasil menjadikan film ini menjadi sesuatu yang menarik untuk disaksikan. Akhir cerita, Radit harus memilih antara kegetiran hidup yang harus ia jalani akibat gaya hidupnya yang tidak benar dan cintanya yang besar pada sang istri. Radit mengembalikan Jani pada keluarga besarnya, sebuah keputusan yang berat dan sulit.

Kekuatan dari film ini adalah cara sang sutradara yang merangkap sebagai penulis skenario menyampaikan moral story kepada para penontonnya tanpa harus menggurui. Ia membiarkan penonton untuk belajar tentang kepahitan hidup dikota besar yang sebenarnya disebabkan oleh sebuah kesalahan dalam menjalankan gaya hidup bebas. Cerita romantis tidak hanya digambarkan yang bagus saja, tapi kepahitan hidup dua anak manusia yang saling mencintai, saling mensupport serta menerima kenyataan bahwa hidup itu berat adalah sesuatu yang sangat romantis. Bagaimana seorang manusia bisa menerima kekurangan pasangan hidup dan berusaha untuk saling mengingatkan satu sama lain, it's so romantic. I remember of someone then, who supported me while I was in suffer and reckless. The one was always be with me and it's desperately so sweet while I rememberd that...mizz u

Satu sisi film ini juga mempunyai beberapa kelemahan, pertama seperti aksesoris yang dikenakan oleh Fahrani yang bagus, sementara ia harus mencuri sebuah jam dari lemari pakaian orangtuanya. Padahal Jani memakai sebuah jam tangan dan kalung yang mahal, kenapa tidak dijual saja untuk menutupi kebutuhan dasar seorang manusia, makan dan minum. Kedua, difilm ini ditampilkan bagaimana mereka makan dengan iringan dua buah kaleng bir. Sepertinya bukan gaya hidup bangsa Indonesia pada umumnya, makan nasi dengan iringan minum bir kalengan. Mungkin ini ada pesan dari sponsor dari film yang dibiayai oleh IFI (perusahaan Investasi Film Indonesia), btw kalau kalian punya uang lebih investasi di film Indonesia seru juga lho. Ketiga, sisi dekoratif ruangan juga memberikan pertanyaan sendiri. Kontrakan mereka berada disebuah gedung tua di bilangan Kota, Jakarta Utara. Tapi isi furniturenya lumayan lengkap terutama perabotan dapur. Mulai dari keramik warna-warni terbaru, kompor gas yang lumayan mahal serta peralatan dapur yang lengkap. Padahal pasangan ini digambarkan tidak suka memasak, untuk membeli makan saja susah apalagi untuk masak. Tapi kenapa lumayan lengkap perabot dapurnya....

Ah sudahlah, mungkin sang sutradara ingin menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat kelas bawah saat ini. Walau miskin, tapi perabotan cukup lengkap, minimal ada kompos gas, refrigerator dan TV. Secara keseluruhan film ini patut disaksikan dan bahkan menjadi film pembuka terbaik di awal tahun 2008 ini. Bahkan tidak mungkin para pemain film ini seperti Vino dan Fahrani akan masuk nominasi Piala Citra pemeran pria dan wanita terbaik 2008. Film Radit dan Jani mungkin juga akan menerima award disejumlah festival film di luar negeri apabila film ini diikutsertakan.

Akhirnya pilihan saya untuk menyaksikan film ini adalah pilihan yang tepat, harga tiket Rp 15,000 menurut saya terlalu murah untuk film seni seperti ini. Mungkin saya pasti membeli DVD originalnya suatu saat nanti, apabila sudah diedarkan. Come and see the movie. You’ll be amazed then.....

Ironis - Bandara Soeta Kebanjiran


Memalukan! Kata pertama yang muncul dibenak saya semasa membaca tagline Kompas pagi ini tanggal 2 Februari 2008, tertulis “Fasilitas Vital Lumpuh”. Jumat pagi saya mendapat SMS dari seorang teman, ia mengatakan bahwa betapa beruntungnya saya pagi itu karena memutuskan tidak masuk kerja. Teman saya memberitakan bahwa ia terjebak macet di bilangan Sudirman karena hujan deras yang mengguyur Jabotabek membuat jalanan di Jakarta tergenang air.

Kebetulan saya memilih tidak masuk kerja pada hari Jumat kemarin karena saya baru saja menyelesaikan seminar selama 3 hari yang cukup melelahkan. Seperti yang telah diberitakan dimedia massa, fasilitas vital seperti bandara Soeta (Soekarno – Hatta) tergenang banjir setinggi 30-50 cm dibeberapa tempat. Sehingga menyebabkan 233 penerbangan terganggu dan sejumlah maskapai tidak memberitakan terjadinya keterlambatan penerbangan kepada para calon penumpang yang akan terbang pada hari Jumat kemarin.

Ratusan penumpang terlantar dibandara. Masih ingat kan tulisan saya beberapa waktu yang lalu tentang carut marut bandara kita? Beruntung selama saya bekerja dan berkantor di bandara beberapa tahun yang lalu, banjir besar tidak pernah menerjang jalan tol dan bahkan dalam lingkungan bandara sekalipun. Bandara seharusnya tidak dibangun dekat dengan pinggir laut seperti beberapa bandara yang dibuat di Indonesia. Bandara yang dibangun didekat laut adalah bandara Soekarno – Hatta, Bandara Ngurah Rai, Bandara Minangkabau dan Bandara Hasanudin serta bandara kecil lainnya di Indonesia. Memang alasan keamanan menjadi salahsatu pilihan mengapa bandara dibangun tidak jauh dari laut.

Ketidaksetujuan saya pertama adalah kalau ada tsunami, fasilitas bandara yang vital untuk mengangkut sejumlah bala bantuan akan lumpuh dan rusak total. Kedua, drainase bandara harus sangat baik sekali apabila terjadi hujan badai disekitar bandara tersebut. Saluran pembuangan harus baik sekali kecuali memang sudah direncanakan dengan baik seperti wilayah dipesisir pantai Negri kincir angin, Belanda. Pusat muara sungai adalah di laut, sementara muara sungai di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya di Indonesia mengalami pendangkalan sehingga menyebabkan pada saat air sungai meluap akibat hujan deras yang turun dan juga peningkatan air laut seperti air pasang karena faktor iklim seperti pada saat masuk bulan purnama (Imlek selalu jatuh pada bulan purnama), maka menyebabkan debit air akan meningkat dan menyebabkan seperti sekarang.

Keputusan pemerintah Orde Baru untuk membuat lokasi bandara Soeta diwilayah Cengkareng yang notabene adalah sebagian besar wilayah rawa kemungkinan kurang bijak menurut saya pribadi. Saya masih ingat cerita ayah pada saat beliau membangun jalan tol Soediyatmo bersama dengan tim dari Pekerjaan Umum (Bina Marga). Karena tanah rawa, maka tim PU mengalami sejumlah hambatan dan akhirnya berhasil menemukan metode baru cara membangun jalan diatas tanah rawa yang sangat labil yang sebenarnya diambil dari metode lama Belanda pada saat membangun jalan di Indonesia. Mereka terlebih dahulu menancapkan bambu disejumlah tanah rawa yang akan menjadi jalan tol tersebut, setelah itu rangkaian bambu yang sudah tertancap ditanah rawa tersebut segera ditimbun material pasir, tanah dan bebatuan kemudian diperkeras sampai keadaan bagan tanah benar-benar padat. Setelah padat maka baru dilapisi dengan cakar ayam, beton dan aspal.

Bandara Halim Perdanakusuma adalah lokasi bandara yang tepat, selain mudah dijangkau dari mana-mana, jauh dari muara laut dan sekitarnya masih ada hutan kota yang cukup terawat. Tapi sayang bandara ini malah dialihfungsikan hanya untuk penerbangan VVIP, militer dan pesawat pribadi lainnya. Bandara Pondok Cabe pun hanya berfungsi sebagai lokasi latihan jawatan penerbangan dan hanggar pesawat keprisidenan serta private jet. Padahal lokasi Pondok Cabe ini sangat bagus sekali dikembangkan menjadi bandara internasional. Tinggal diperluas dan dibangun akses tol yang layak, bandara ini siap dialihfungsikan menjadi bandara baru yang besar atau mungkin untuk bandara khusus Low Cost Carrier (penerbangan murah seperti di KLIA).
Sementara kawasan hutan bakau yang berada didekat bandara Soeta kini telah direlokasi sebagian menjadi lapangan golf dan perumahan mewah. Hal seperti ini yang menyebabkan bandara Soeta kemarin sempat tergenang banjir. Bisa dibayangkan betapa menderitanya para calon penumpang yang gagal terbang pada Jumat kemarin. Mereka tidak bisa pergi kemana-mana karena akses jalan menuju bandara sempat lumpuh beberapa saat. Banyak pebisnis yang mengalami kerugian karena mereka tidak bisa terbang kesuatu kota untuk berbisnis. Maskapai penerbangan juga tidak memberikan informasi bahwa penerbangan tertunda, sejumlah penumpang merasa dirugikan karena maskapai tidak mau memberikan uang ganti rugi karena gagal terbang. This is not right !!

Saya bisa bayangkan penderitaan para calon penumpang saat ini, mereka hanya bisa tidur dilantai bandara yang dingin. Bangku di bandarapun tidak nyaman untuk ditiduri. Bahkan baru saja diceritakan di Metro TV bagaimana para calon penumpang yang terperangkap dibandara tidak bisa makan karena restoran sudah tutup, pihak maskapai tidak menyediakan penggantian berupa fasilitas inap atau makan gratis. Pihak maskapai pun sepertinya menghilang ditelan angin akibat kejadian ini. Konsumen harus melawan maskapai yang berbuat tidak adil seperti ini. Karena para konsumen sudah membayar harga tiket yang ditentukan serta airport tax, mereka layak diperlakukan secara baik apabila terjadi penundaan penerbangan karena alasan banjir dan lain sebagainya. Maskapai penerbangan bukan hanya mengejar keuntungan belaka, tapi juga harus memberikan service terbaik apabila ada delay karena faktor cuaca atau kerusakan mesin pesawat. We must ask our right....

Padahal beberapa hari yang lalu seperti yang diberitakan di Bisnis Indonesia bahwa PT. Railink menawarkan 15% saham KA (kereta api) bandara. Investasi pembangunan KA cepat kebandara membengkak dari Rp 2,2 trilliun menjadi Rp 4,5 trilliun. Pembangunan KA bandara dibiayai 70%nya oleh pinjaman bank dan sisanya oleh ekuitas konsorsium seperti PT. Railink, PT. Jasa Marga dan PT. Wijaya Karya serta beberapa investor lain. PT. Railink sendiri merupakan konsorsium PT. Kereta Api dan PT. Angkasa Pura II.

KA Bandara akan dibangun dengan track sepanjang 32,7 km dan melintasi Manggarai - Stasiun Dukuh Atas (central station) – Muara Angke - Cengkareng, rencananya akan selesai pada akhir tahun 2009. Tarif yang akan dikenakan sekitar Rp 60,000 – 65,000/orang. Sudah saatnya pembangunan KA bandara ini dipercepat dan pada saat melewati jalan tol Soedyatmo tidak berada dibawah tanah tapi berada diatas tanah seperti KA layang agar tidak terendam banjir lagi. Sayang sepertinya apabila suatu saat nanti rel KA bandara terendam banjir sehingga akses benar-benar terputus. Dan sudah seharusnya komisi DPR tidak sibuk mengutak ngatik proyek KA bandara ini agar segera terlaksana. “Bagi – bagi kue” untuk sebuah proyek sudah seharusnya ditinggalkan karena cara seperti ini sudah usang dan proyek ini untuk rakyat juga pada akhirnya.

Dan yang lucu, baru saja PT. Angkasa Pura II tetap mengajukan kenaikan tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U)khusus untuk penumpang bandara Soeta meski telah ditolak oleh pemerintah.PJP2U untuk penerbangan internasional diusulkan naik dari Rp 100,000 menjadi Rp 150,000. Kenaikan tarif airport tax ini dilakukan untuk perbaikan fasilitas bandara seperti sanitasi dan toilet dibandara Soeta yang kini sudah menampung 32 juta penumpang/tahun. Pernyataan yang aneh!

Bayangkan dari 32,000,000 penumpang dan kemungkinan total penumpang internasional sekitar 10,000,000 orang x Rp 100,000/orang, maka total airport tax yang berhasil dikumpulkan sudah menjadi Rp 1,000,000,000,000/tahun. Jumlah yang sangat besar untuk membangun sebuah toilet bandara yang bagus dan jumlahnya sekitar 100 buah toilet. Misalkan perbaikan 1 buah toilet dibandara menghabiskan dana sebesar Rp 50,000,000, maka perbaikan 100 toilet dibandara hanya membutuhkan dana sebesar Rp 5,000,000,000. Sementara untuk gaji pegawai penjaga toilet misalkan menghabiskan dana 3 (asumsi 1 toilet dijaga oleh 3 orang selama 3 shift) x Rp 1,000,000/gaji perbulan/orang x 12 bulan dalam setahun = Rp 36,000,000 x 100 toilet = Rp 360,000,000. So the Angkasa Pura doesn’t need to raise up the airport tax.

Saya sudah nggak sabar ingin menikmati fasilitas bandara Soeta yang lengkap dan canggih seperti di Changi atau KLIA. Bandara Changi tahun 2007 ini kembali menjadi bandara terfavorite oleh para warga dunia yaang sudah menikmati fasilitas bandara ini. Pemerintah mereka sadar bahwa bandara adalah wajah pertama suatu bangsa dan sudah menjadi komoditas yang bisa dijual untuk umum serta warga dunia lainnya. Bahkan apabila terjadi delay, pihak otoritas bandara Changi memberikan fasilitas free touring bagi para penumpang. Dari sisi penumpang mereka bisa wisata gratis dan dari sisi pemerintah, hal ini bisa meningkat citra wisata Singapore. Trik yang jitu dan briliant. Indonesia kapan yakh bisa begini???? Kapan sikh pihak otoritas bandara bisa belajar?